"Mengembalikan Kemuliaan Nuzulul Qur'an dengan Kesalehan Ritual dan Sosial".
- Bagi umat Islam, bulan
Ramadan tidak hanya dimaknai sebagai waktu untuk melakukan ibadah puasa. Namun
juga diperingati sebagai bulan turunnya Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad yaitu
Nuzulul Qur'an. Turunnya wahyu Ilahi bagi Bani Adam ini ditujukan untuk
memperbaiki akhlak manusia, khususnya bagi kaum muslim. Terasa begitu ironis
ketika di bulan Ramadan pula seringkali terdengar pihak-pihak tertentu
melakukan kekerasan.
Guru Besar UIN Alauddin
Makassar, Prof Dr H Muammar Bakry menjelaskan pentingnya menghayati peristiwa
Nuzulul Qur'an agar tidak hanya menjadi rutinitas tahunan semata. Seharusnya,
hikmah Nuzulul Qur'an bisa selalu ada pada diri seorang muslim dengan mengamalkan
akhlakul karimah, terlepas dimana dan kapan dirinya berada. “Jika peringatan
Nuzulul Qur'an hanya sekadar berulang sebagai rutinitas formal tanpa memberi
efek dalam kehidupan kita sebagai umat Islam, baik secara personal maupun
komunal, maka tentu itu tidak sesuai dengan harapan dan pesan dari hikmah
Nuzulul Qur'an itu sendiri. Seharusnya, hikmah Nuzulul Qur'an itu tidak lagi
melihat sekat waktu dan tempat, namun turunnya Alquran ditunjukkan dengan
esensinya yang segera kita amalkan dengan sebaik-baiknya,” terang Muammar
Bakry, Rabu (19/3/2025). Dalam konteks Indonesia, ujar Muammar, menjadi
pertanyaan besar: Apakah Al-Qur'an sudah diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari? Dengan begitu, barulah terasa bahwa Al-Qur'an benar-benar turun.
Jangan sampai turunnya Al-Qur'an hanya sekadar formalitas pelaksanaan acara
yang dilaksanakan di tempat tertentu. Yang paling mendasar adalah
hikmahnya bagi kita: Apakah Al-Qur'an bisa dimalkan? Itulah arti turunnya
Al-Qur'an yang sebenarnya bagi pribadi dan bagi bangsa ini.
Muammar Bakry berpendapat,
bahwa kepandaian atau kepiawaian secara ritual dalam beragama akan pula
meningkatkan kesalehan seorang individu dalam perilaku sosialnya. Sayangnya,
masih banyak sekali orang atau kelompok yang mengaku paling beragama, justru sering
membuat kegaduhan di masyarakat dengan memaksakan versi kebenarannya terhadap
orang atau kelompok lainnya. “Seharusnya ritual ibadah yang dilakukan dengan
baik dan memahami hakikat dari ibadah tersebut pasti akan berdampak secara
sosial. Jadi tidak ada orang yang ibadahnya bagus tetapi kemudian menampilkan
sikap egois; itu berarti tidak ada pengaruh dan dampak positif dari ibadah
tersebut,” tambahnya. Ia menguraikan, Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa
setiap ibadah, apakah itu haji, salat, zakat, dan lain-lain, harus dilihat dari
efek sosial yang bisa dihasilkan. “Artinya, puasa atau salat tarawih misalnya,
kita lihat dampak positifnya setelah Ramadan. Apakah perilaku sosialnya semakin
baik atau justru semakin mengganggu orang lain? Hal ini harus dilihat setelah
bulan Ramadan berakhir,” jelas Muammar Bakry
Sebagai seorang akademisi
dan juga ulama yang sering menyoroti isu toleransi dan kerukunan antargolongan,
Muammar Bakry pun berharap agar Ramadan yang juga bertepatan dengan perayaan
Nyepi ini bisa memberi hikmah bagi semua umat beragama.
Menurutnya, berdekatannya
Idul Fitri dengan Nyepi seharusnya membuat umat Islam dan Hindu bisa saling
menghargai dalam merayakannya. “Umat Islam akan lebih nampak syiarnya dengan
banyak kegiatan, terutama menjelang Lebaran. Di sisi lain, Hari Raya Nyepi diharapkan
bisa menyampaikan pesan untuk membendung diri dari kegiatan-kegiatan yang
melibatkan keramaian. Namun, intinya baik Hari Raya Idul Fitri maupun Hari Raya
Nyepi diharapkan dapat menggugah jiwa spiritual umat beriman untuk berimplikasi
positif pada kepedulian sosial mereka. Itulah inti sebenarnya dari kedua hari
raya tersebut,” paparnya. Lebih lanjut, ia kembali menegaskan pentingnya
menjaga kemuliaan Ramadan. Menurutnya, umat Islam secara keseluruhan perlu
lebih mawas diri, karena sebenarnya banyak tindakan yang merusak makna bulan
Ramadan justru datang dari orang Islam itu sendiri. “Perlu menjadi perhatian
bagi kita mengenai kondisi yang ada di Indonesia. Misalnya, dalam bulan
Ramadan, lebih banyak sebenarnya orang Islam sendiri yang melakukan tindakan
yang merusak kemuliaan bulan suci Ramadan. Hampir semua pelaku sabung ayam dan
minuman keras itu justru
orang Muslim,” ujar Muammar
Bakry. Di sisi lain, lanjutnya seringkali non-Muslim justru sangat menghargai
orang-orang Muslim yang berpuasa. Bahkan jarang terdengar tindakan-tindakan
yang meresahkan masyarakat dilakukan oleh non-Muslim saat bulan Ramadan.
“Jangan sampai umat Islam sendiri yang merusak kemuliaan bulan suci Ramadan,”
tandasnya
Semoga bermanfaat, menjelang sore di Universitas Persada Indonesia Y.A.I