"Menyikapi Harta Haram dalam Islam, Bolehkah Disedekahkan?".
Bagaimana menyikapi harta
haram dalam Islam. Apakah boleh disedekahkan untuk orang lain? Berikut
penjelasan Ustaz Farid Nu'man Hasan. Harta haram adalah harta yang didapat
dengan cara yang bathil seperti barang curian, uang hasil korupsi, jual beli
khamr, uang suap, menang judi (lotre), riba, upah pelacuran, dan lainnya.
Ada beberapa ketentuan Islam dalam menyikapi harta haram, sebagai berikut:
1. Harta curian, korupsi,
merampas, dan sejenisnya. Untuk jenis ini, tidak ada cara lain menyikapinya
kecuali dikembalikan kepada shahibul maal (pemilik hartanya). Baik itu milik pribadi,
organisasi, lembaga, bahkan negara. Maka kembalikan kepada mereka atau ahli
warisnya. Tidak boleh seorang pun di-luar pemiliknya memanfaatkannya tanpa izin
dan ridhanya. Tidak pula disedekahkan tanpa seizin pemiliknya, disedekahkan
adalah jalan terakhir ketika tidak berhasil menemukan pemiliknya. Imam
An-Nawawi membahas ini dalam Kitab Riyadhush Shalihin tentang bagaimana cara
bertobat dari maksiat terkait hak-hak manusia dan harta orang lain. Beliau
berkata:
Artinya: "Jika
(maksiatnya) terkait harta atau sejenisnya maka kembalikan harta itu kepadanya
(pemiliknya)." (Riyadhush Shalihin) Imam Ibnul Qayyim mengatakan:
"Siapa yang mengumpulkan harta dengan cara yang tidak syar'i, lalu dia ingin membersihkannya, dan terhalang mengembalikannya, maka dia menetapkannya sebagai utang yang mesti dia bayar. Jika tidak bisa maka kembalikan ke ahli warisnya, jika tidak bisa maka disedekahkan." (Zaadul Ma'ad, jilid 5, hal. 690)
2.
Harta Haram hasil usaha sendiri, seperti jual beli khamr, jual beli babi,
menang judi (lotre), riba, upah pelacuran, dan sejenisnya. Untuk jenis ini ada
beberapa sikap atau pendapat para ulama: - Membuangnya. Haram baginya dan Haram
bagi orang lain. Ini pendapat sebagian kalangan sufi, sebagaimana yang
dikatakan Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis. Dahulu para Sahabat Nabi
membuang khamr ketika turun ayat pelarangannya sampai digambarkan Madinah
banjir khamr. Sebagaimana hadits Shahih Ibnu Hibban, dari jalan Anas bin Malik
radhiyallahu
'anhu. - Tidak membuangnya
tapi memanfaatkannya untuk kepentingan umum (orang banyak). Harta ini haram
bagi pemilik atau si pencarinya tapi tidak bagi kepentingan umum. Khususnya
uang hasil penjualan atau upah dari aktivitas yang haram-haram. Sedangkan yang
haram secara zat atau materinya seperti babi, khamr, darah, ini tetap haram
bagi pemilik dan orang lain. Sedangkan uang hasil penjualannya masih bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan umum seperti jalanan, jembatan, trotoar, taman,
wc umum, anak yatim, dan semisalnya. Alasannya, uang-uang haram seperti itu
hakikatnya harta tidak bertuan, maka haram bagi orang mencarinya. Tapi boleh
bagi orang lain menerimanya dengan cara yang mubah. Dzar bin Abdullah bin
Mas'ud radhiyallahu 'anhuma bercerita:
"Ada seseorang yang
mendatangi Ibnu Mas'ud lalu dia berkata: 'Aku punya tetangga yang suka makan
riba, dan dia sering mengundangku untuk makan." Ibnu Mas'ud menjawab:
"Untukmu bagian enaknya, dan dosanya buat dia." (Imam Abdurrazzaq,
Al-Mushannaf, No 14675) Salman Al-Farisi radhiyallahu 'anhu berkata: "Jika
sahabatmu, tetanggamu, atau kerabatmu yang pekerjaannya haram, lalu dia memberi
hadiah kepadamu atau mengajakmu makan, terimalah! Sesungguhnya, kamu dapat
enaknya, dan dia dapat dosanya." (Ibid, No 14677) Adapun bagi pihak yang
menerima, walaupun ada ulama yang membolehkan menerima sebagaimana penjelasan
di atas, mengambil sikap menolaknya adalah lebih baik untuk menghilangkan
was-was dan kehati-hatian.
"Barangsiapa yang
menghindar dari yang syubhat (wilayah abu-abu) maka dia telah menjaga agamanya
dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka
dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada
dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke dalamnya." (HR
Muttafaq 'Alaih)
Wallahu A'lam
Semoga bermanfaat menjelang siang di Universitas Persada Indonesia Y.A.I