"Bolehkah Menyerahkan Zakat kepada Keluarga Sendiri?"
Menyerahkan zakat atau
sedekah sunnah kepada keluarga sendiri yang masuk kategori tidak mampu bukanlah
sesuatu yang asing di kalangan umat Islam. Di satu sisi hal itu dipandang baik.
Sebab berdasar hadis nabi, selain apa yang diberikan dapat membantu ekonomi
mereka, juga akan mempererat tali silaturahim. Namun di sisi lain hal itu
menimbulkan masalah. Di antaranya pada saat keluarga yang diberi adalah anak
atau orang tua yang wajib dinafkahi oleh orang si pemberi zakat. Sebab hal itu
sama saja memberikan zakat pada orang yang wajib kita tunaikan zakatnya. Lalu
bagaimana sebenarnya hukum menyerahkan zakat fitrah kepada kerabat sendiri?
Keumuman ayat yang
menjelaskan delapan golongan penerima zakat, berpotensi menunjukkan bolehnya
menyerahkan zakat fitrah kepada keluarga sendiri. Allah berfirman:
Artinya:
Sesungguhnya zakat itu
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat,
orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya,
untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk
orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai
kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. ( QS. At-Taubah
[9] :60) Pada ayat di atas, secara umum Allah menjelaskan bahwa zakat
diserahkan kepada delapan golongan tersebut. Tidak ada penjelasan lebih lanjut
mengenai ketentuan masing-masing golongan terutama terkait status si penerima
zakat memiliki hubungan kerabat dengan si pemberi zakat.
Beda Pendapat
Imam Al-Jashshash dalam Ahkamul Qur’an
menyatakan, ulama fikih berbeda pendapat mengenai hukum memberikan zakat kepada
kerabat sendiri. Mazhab Hanafiyah menyatakan bahwa zakat tidak boleh diserahkan
kepada orang tua ke atas, anak ke bawah, serta istri. Maksud dari orang tua ke
atas adalah mencakup orang tua sendiri, kakek-nenek, buyut dan seterusnya.
Sedang maksud dari anak ke bawah adalah mencakup anak sendiri, cucu, cicit dan
seterusnya.
Mazhab Malikiyah dan
Syafiiyah menyatakan, tidak boleh memberikan zakat kepada kerabat yang si
pemberi zakat berkewajiban menanggung nafkah mereka. Hal ini berarti mencakup
orang tua, anak, dan istri. Sedang Ibn Syubramah menyatakan bahwa tidak boleh
memberikan zakat pada kerabat yang menjadi ahli waris bagi si pemberi zakat.
Ini adalah pendapat berbagai
mazhab secara umum. Untuk perincian serta ketentuan-ketentuannya dapat dirujuk
kepada karya yang membahas fikih mazhab mereka secara langsung.
Tidak Mutlak Dalam mazhab
Syafiiyah sendiri, tidak diperbolehkannya memberikan zakat kepada orang tua,
anak dan istri, tidaklah berlaku secara mutlak. Hukum tidak boleh tersebut
muncul bila ketiganya dinafkahi si pemberi zakat dan hendak diberi zakat atas nama
fakir atau miskin. Sebab keberadaan si pemberi zakat secara tidak langsung
menafikkan kebutuhan mereka atas zakat. "Oleh karena itu, orang tua, anak
dan istri boleh menerima zakat bila nafkahnya tidak ditanggung si pemberi
zakat, atau hendak diberi atas nama selain fakir dan miskin," tulis
Muhammad Nasif, penulis buku-buku keislaman yang alumnus Pondok Pesantren
Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga mengutip Al-Majmu’
sebagaimana dilansir laman Tafsir Al-Quran. Imam Al-Mawardi dari kalangan
Mazhab Syafiiyah menyatakan, untuk kerabat yang nafkahnya tidak ditanggung oleh
si pemberi zakat, maka dianjurkan mendahulukan memberikan zakat kepada mereka,
daripada selain mereka. Hal ini menunjukkan bahwa zakat lebih diutamakan
diberikan kepada kerabat, selama nafkahnya tidak menjadi tanggungan si pemberi
zakat (Al-Hawi Al-Kabir/8/1355).
Muhammad Nasif menyimpulkan, derdasar berbagai keterangan di atas, menurut Mazhab Syafiiyah menyerahkan zakat kepada kerabat lebih utama dari selainnya. Namun ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Di antaranya adalah kerabat tersebut nafkahnya tidak ditanggung oleh si pemberi zakat, bila memang hendak diberi atas nama fakir atau miskin. Wallahu a’lam bish shawab.
Semoga bermanfaat, menjelang sore di Universitas Persada Indonesia Y.A.I