"8 Faktor Pendorong Ikhlas dalam Beramal Saleh"
Sifat ikhlas yang begitu
penting dalam amal ibadah, namun untuk bisa ikhlas biasanya sangat berat
dilakukan. Karena itu perlu faktor pendorong agar sifat ikhlas bisa dijalankan
dengan baik dan benar. Dinukil dari buku 'Khutuwaat ilas Sa’adah' karya Dr.
Abdul Muhsin Al Qasim (Imam dan Khatib Masjid Nabawi) yang telah diterjemahkan,
dijelaskan tentang beberapa faktor yang dapat mendorong seseorang bisa berlaku
ikhlas dalam beramal , berikut di antaranya:
1. Selalu berdoa Selalu
memohon perlindungan kepada Allah Ta'ala, Dialah yang membolak-balikkan hati
manusia. Zat yang ditangan-Nya-lah hidayah berada, tampakkanlah hajat dan
kefakiran kepada-Nya. Mintalah selalu kepada-Nya agar Dia memberikan keikhlasan
kepadamu. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu selalu memanjatkan doa ini; “Ya
Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal yang shalih, Ikhlas karena
mengharap Wajah-Mu, dan janganlah jadikan di dalam amalku bagian untuk
siapapun.”
2. Sembunyikan amal Bisyr
ibnul Harits mengatakan, “Janganlah engkau beramal untuk diingat.
Sembunyikanlah kebaikan sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan."
Jadi, amal yang tersembunyi -dengan syarat memang amal tersebut patut
disembunyikan-, lebih layak diterima di sisi-Nya dan hal tersebut merupakan
indikasi kuat bahwa amal tersebut dikerjakan dengan ikhlas.
3. Selalu melihat amal orang-orang saleh
panutan Perhatikan dan jadikanlah para nabi dan orang saleh terdahulu sebagai
panutan kita. Allah ta’ala berfirman
“Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak
meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran). Al-Quran itu tidak lain
hanyalah peringatan untuk seluruh umat.” (QS Al An’am: 90) Bila perlu, baca
buku-buku biografi para ulama, ahli ibadah, dan zuhhad (orang yang zuhud),
karena hal itu lebih mampu untuk menambah keimanan di dalam hati.
4. Menganggap remeh amal
Penyakit yang sering melanda hamba adalah ridha (puas) dengan dirinya. Setiap
orang yang memandang dirinya sendiri dengan pandangan ridha, maka hal itu akan
membinasakannya. Setiap orang yang ujub akan amal yang telah dikerjakannya,
maka keikhlasan sangat sedikit menyertai amalannya, atau bahkan tidak ada sama
sekali keikhlasan dalam amalnya, dan bisa jadi amal shalih yang telah
dikerjakan tidak bernilai. Sa’id bin Jubair mengatakan, “Seorang bisa masuk
surga berkat dosanya dan seorang bisa masuk
neraka berkat kebaikannya.
Maka ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Sa’id menjawab, “Pria
tadi mengerjakan kemaksiatan namun dirinya senantiasa takut akan siksa Allah
atas dosa yang telah dikerjakannya, sehingga tatkala bertemu Allah, Dia
mengampuninya dikarenakan rasa takutnya kepada Allah. Pria yang lain
mengerjakan suatu kebaikan, namun dia senantiasa ujub (bangga) dengan amalnya
tersebut, sehingga taktala bertemu Allah, dia pun dimasukkan ke dalam neraka
Allah.”
5. Khawatir amal tidak diterima
Anggaplah remeh setiap amal
saleh yang telah kita perbuat. Apabila telah mengerjakannya, tanamkanlah rasa
takut, khawatir jika amal tersebut tidak diterima. Di antara do’a yang
dipanjatkan para salaf adalah, “Ya Allah kami memohon kepada-Mu amal yang
shalih dan senantiasa terpelihara.” Di antara bentuk keterpeliharaan amal saleh
adalah amal tersebut tidak disertai dengan rasa ujub dan bangga dengan amal
tersebut, namun justru amal shaleh terpelihara dengan adanya rasa takut dalam
diri seorang bahwa amal yang telah dikerjakannya tidak serta merta diterima
oleh-Nya. Allah ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu seperti
seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat,
menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai
alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya
dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu.
dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu
kamu perselisihkan itu.” (QS An Nahl: 92). Ibnu Katsir mengatakan, “Mereka
menunaikan sedekah, namun hati mereka takut dan khawatir, bahwa amalan mereka
tidak diterima di sisi-Nya. mereka takut karena (sadar) mereka tidak menunaikan
syarat-syaratnya secara sempurna. Imam Ahmad dan Tirmidzi telah meriwayatkan
hadits dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu. Dia bertanya kepada
rasulullah, “Wahai rasulullah, mengenai ayat,
“Dan orang-orang yang
memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena
mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS
Al Mukminun: 60).
6. Tak terpengaruh perkataan
atau pujian manusia
Seorang yang diberi taufik
oleh Allah ta’ala tidaklah terpengaruh oleh pujian manusia apabila mereka
memujinya atas kebaikan yang telah dilakukannya. Apabila dia mengerjakan
ketaatan, maka pujian yang dilontarkan oleh manusia hanya akan menambah
ketawadhu’an dan rasa takut kepada Allah. Dia yakin bahwa pujian manusia kepada
dirinya merupakan fitnah baginya, sehingga dia pun berdo’a kepada Allah ta’ala
agar menyelamatkan dirinya dari fitnah tersebut. Dia tahu bahwa hanya Allah
semata, yang pujian-Nya bermanfaat dan celaan-Nya semata yang mampu
memudharatkan hamba.
7. Sadar bahwa manusia
bukanlah pemilik surga dan neraka Apabila hamba mengetahui manusia yang menjadi
faktor pendorong untuk melakukan riya akan berdiri bersamanya di padang Mahsyar
dalam keadaan takut dan telanjang,dia akan mengetahui bahwasanya memalingkan
niat ketika beramal kepada mereka tidaklah akan mampu meringankan kesulitan
yang dialaminya di padang Mahsyar. Bahkan mereka akan mengalami kesempitan yang
sama dengan dirinya.
Apabila kita telah
mengetahui hal itu, niscaya kita akan mengetahui bahwa mengikhlaskan amal
adalah benar adanya, tidak sepatutnya amalan ditujukan kecuali kepada Zat yang
memiliki surga dan neraka. Ibnu Rajab mengatakan, “Barangsiapa yang berpuasa,
salat, dan berzikir kepada Allah demi tujuan duniawi, maka amalan itu tidak
mendatangkan kebaikan baginya sama sekali. Seluruh amal tersebut tidak
bermanfaat bagi pelakunya dikarenakan mengandung dosa (riya), dan (tentunya
amalan itu) tidak bermanfaat bagi orang lain.” (Jami'ul Ulum wal Hikam 1/67)
8. Ingat sendirian di dalam kubur
Jiwa akan merasa tenang
dengan mengingat perjalanan yang akan dilaluinya di akhirat. Apabila hamba
meyakini bahwa dirinya akan dimasukkan ke dalam liang lahat sendiri, tanpa
seorang pun menemani, dan tidak ada yang bermanfaat bagi dirinya selain amal
shalih, dan dia yakin bahwa seluruh manusia, tidak akan mampu menghilangkan
sedikit pun, azab kubur yang diderita, maka dengan demikian hamba akan
menyakini bahwa tidak ada yang mampu menyelematkannya melainkan mengkihlaskan
amal kepada Sang Pencipta semata. Ibnul Qayyim mengatakan, “Persiapan yang
benar untuk bertemu dengan Allah merupakan salah satu faktor yang paling
bermanfaat dan paling ampuh bgi hamba untuk merealisasikan keistiqamahan diri.
Karena setiap orang yang mengadakan persiapan untuk bertemu dengan-Nya, hatinya
akan terputus dari dunia dan segala isinya.” (Thariqul Hijratain hlm 297)
Semoga bermanfaat, menjelang siang di Universitas Persada Indonesia Y.A.I