"Takdir dalam Bahasa Al-Quran: Samakah dengan Sunnatullah?".
KATA takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara
berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar
atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah menakdirkan demikian,"
maka itu berarti, "Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam
diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya." "Dari sekian
banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semua makhluk telah ditetapkan takdirnya
oleh Allah," tulis Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul
"Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat"
(Mizan, 2007). "Mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu, dan
Allah SWT menuntun dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju."
Begitu dipahami antara lain dari ayat-ayat permulaan Surat Al-A'la (Sabihisma),
"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan (semua mahluk)
dan menyempurnakannya, yang memberi takdir kemudian mengarahkan(nya)" ( QS
Al-A'la [87] : 1-3).
Karena itu ditegaskannya bahwa: "Dan
matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah takdir yang ditentukan
oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui" ( QS Ya Sin [36] :
38). Demikian pula bulan, seperti firman-Nya sesudah ayat di atas: "Dan
telah Kami takdirkan/tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah
dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang
tua" ( QS Ya Sin [36] : 39) Bahkan segala sesuatu ada takdir atau
ketetapan Tuhan atasnya, "Dia (Allah) Yang menciptakan segala sesuatu,
lalu Dia menetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengan
sesempurna-sempurnanya" ( QS Al-Furqan [25] : 2). "Dan tidak ada
sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah khazanah (sumber)nya; dan Kami tidak
menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu" ( QS Al-Hijr [15] : 21).
Makhluk-Nya yang kecil dan remeh pun diberi-Nya takdir. Lanjutan ayat Sabihisma
yang dikutip di atas menyebut contoh, yakni rerumputan. "Dia Allah yang
menjadikan rumput-rumputan, lalu dijadikannya rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman"
( QS Sabihisma [87] : 4-53)
Mengapa rerumputan itu tumbuh subur, dan mengapa
pula ia layu dan kering. Berapa kadar kesuburan dan kekeringannya, kesemuanya
telah ditetapkan oleh Allah SWT, melalui hukum-hukum-Nya yang berlaku pada alam
raya ini. Ini berarti jika Anda ingin melihat rumput subur menghijau, maka
siramilah ia, dan bila Anda membiarkannya tanpa pemeliharaan, diterpa panas
matahari yang terik, maka pasti ia akan mati kering kehitam-hitaman atau
ghutsan ahwa seperti bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkau
seluruh makhluk-Nya. Walhasil, "Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu
kadarnya" ( QS Al-Thalaq [65] : 3) Peristiwa-peristiwa yang terjadi di
alam raya ini, dan sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada
tempat dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu
yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut
berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara
ulama dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering secara
salah kaprah disebut "hukum-hukum alam." Sunnatullah Quraish tidak
sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah dengan takdir. Karena
sunnatullah yang digunakan oleh
Mengapa rerumputan itu tumbuh subur, dan mengapa
pula ia layu dan kering. Berapa kadar kesuburan dan kekeringannya, kesemuanya
telah ditetapkan oleh Allah SWT, melalui hukum-hukum-Nya yang berlaku pada alam
raya ini. Ini berarti jika Anda ingin melihat rumput subur menghijau, maka
siramilah ia, dan bila Anda membiarkannya tanpa pemeliharaan, diterpa panas
matahari yang terik, maka pasti ia akan mati kering kehitam-hitaman atau
ghutsan ahwa seperti bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkau
seluruh makhluk-Nya. Walhasil, "Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu
kadarnya" ( QS Al-Thalaq [65] : 3) Peristiwa-peristiwa yang terjadi di
alam raya ini, dan sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada
tempat dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu yang
terjadi tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada
dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama
dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering secara salah
kaprah disebut "hukum-hukum alam.
" Sunnatullah
Quraish
tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah dengan takdir. Karena
sunnatullah yang digunakan oleh untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi
masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum
alam.
Dalam Al-Quran "sunnatullah" terulang
sebanyak delapan kali, "sunnatina" sekali, "sunnatul
awwalin" terulang tiga kali; kesemuanya mengacu kepada hukum-hukum Tuhan
yang berlaku pada masyarakat. Baca misalnya QS Al-Ahzab (33) : 38, 62 atau
Fathir (35 ):43, atau Ghafir (40 ) : 85, dan lain-lain. Matahari, bulan, dan
seluruh jagat raya telah ditetapkan oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka
tawar, "Datanglah (hai langit dan bumi) menurut perintah-Ku, suka atau
tidak suka!" Keduanya berkata, "Kami datang dengar penuh
ketaatan." Demikian surat Fushshilat (41) ayat 11 melukiskan
"keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya."
Dalam
Al-Quran "sunnatullah" terulang sebanyak delapan kali,
"sunnatina" sekali, "sunnatul awwalin" terulang tiga kali;
kesemuanya mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada masyarakat. Baca
misalnya QS Al-Ahzab (33) : 38, 62 atau Fathir (35 ):43, atau Ghafir (40 ) :
85, dan lain-lain. Matahari, bulan, dan seluruh jagat raya telah ditetapkan
oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar, "Datanglah (hai langit
dan bumi) menurut perintah-Ku, suka atau tidak suka!" Keduanya berkata,
"Kami datang dengar penuh ketaatan." Demikian surat Fushshilat (41)
ayat 11 melukiskan "keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat
raya."
Apakah demikian juga yang berlaku bagi manusia?
"Tampaknya tidak sepenuhnya sama," kata Quraish. Manusia mempunyai
kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Makhluk ini, misalnya, tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu ukuran
atau batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia tidak mampu
melampauinya, kecuali jika ia menggunakan akalnya untuk menciptakan satu alat,
namun akalnya pun, mempunyai ukuran yang tidak mampu dilampaui.
Semoga bermanfaat, menjelang sore di Universitas Persada Indonesia Y.A.I