"Ilmu Tidak Mampu Menciptakan Kebahagiaan Manusia, Begini Penjelasannya".
SEJAK semula Al-Quran menyatakan bahwa di balik
alam raya ini ada Tuhan yang wujud-Nya dirasakan di dalam diri manusia (antara
lain QS 2 :164; 51:20-21). "Tanda-tanda wujud-Nya itu akan
diperlihatkan-Nya melalui pengamatan dan penelitian manusia, sebagai bukti
kebenaran Al-Quran ( QS 41 :53)," ujar Prof Dr M Quraish Shihab dalam
bukunya berjudul "Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996). Dengan demikian, katanya, sebagaimana
Al-Quran merupakan wahyu-wahyu Tuhan untuk menjelaskan hakikat wujud ini dengan
mengaitkannya dengan tujuan akhir, yaitu pengabdian kepada-Nya ( QS 51 -56),
maka alam raya ini --yang merupakan ciptaan-Nya-- harus berfungsi sebagaimana
fungsi Al-Quran dalam menjelaskan hakikat wujud ini dan mengaitkannya dengan
tujuan yang sama.
Dan dengan demikian, ilmu dalam pengertian yang
sempit ini sekalipun, harus berarti: "Pengenalan dan pengakuan atas
tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan
sehingga membimbing manusia ke arah pengenalan dan pengakuan akan 'tempat'
Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperluan." Dalam definisi ini
kita lihat bahwa konsep tentang "tempat yang tepat" berhubungan
dengan dua wilayah penerapan. Di satu pihak, ia mengacu kepada wilayah
ontologis yang mencakup manusia dan benda-benda empiris, dan di pihak lain
kepada wilayah teologis yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan etis. Hal ini
dapat dibuktikan dengan memperhatikan bagaimana Al-Quran selalu mengaitkan
perintah-perintahnya yang berhubungan dengan alam raya dengan perintah
pengenalan dan pengakuan atas Dan
dengan demikian, ilmu dalam pengertian yang sempit ini sekalipun, harus
berarti: "Pengenalan dan pengakuan atas tempat-tempat yang benar dari
segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing manusia ke arah
pengenalan dan pengakuan akan 'tempat' Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud
dan keperluan." Dalam definisi ini kita lihat bahwa konsep tentang
"tempat yang tepat" berhubungan dengan dua wilayah penerapan. Di satu
pihak, ia mengacu kepada wilayah ontologis yang mencakup manusia dan
benda-benda empiris, dan di pihak lain kepada wilayah teologis yang mencakup
aspek-aspek keagamaan dan etis. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan
bagaimana Al-Quran selalu mengaitkan perintah-perintahnya yang berhubungan
dengan alam raya dengan perintah pengenalan dan pengakuan atas
kebesaran dan kekuasaan-Nya. Bahkan, ilmu --dalam
pengertiannya yang umum sekalipun-- oleh wahyu pertama Al-Quran (iqra'), telah
dikaitkan dengan bismi rabbika. Maka ini berarti bahwa "ilmu tidak
dijadikan untuk kepentingan pribadi, regional atau nasional, dengan
mengurbankan kepentingan-kepentingan lainnya
Ilmu pada saat --dikaitkan dengan bismi rabbika--
kata Prof Dr 'Abdul Halim Mahmud, Syaikh Jami' Al-Azhar, menjadi "demi
karena (Tuhan) Pemeliharamu, sehingga harus dapat memberikan manfaat kepada
pemiliknya, warga masyarakat dan bangsanya. Juga kepada manusia secara umum. Ia
harus membawa kebahagiaan dan cahaya ke seluruh penjuru dan sepanjang
masa." Ayat-ayat Al-Quran seperti antara lain dikutip di atas, di samping
menggambarkan bahwa alam raya dan seluruh isinya adalah intelligible (dapat
dijangkau oleh akal dan daya manusia), juga menggarisbawahi bahwa segala
sesuatu yang ada di alam raya ini telah dimudahkan untuk dimanfaatkan manusia (
QS 43 :13). Dan dengan demikian, ayat-ayat sebelumnya dan ayat ini memberikan
tekanan yang sama pada sasaran ganda: tafakkur yang menghasilkan sains, dan
tashkhir yang menghasilkan teknologi guna kemudahan dan kemanfaatan manusia.
Dan dengan demikian pula,
kita dapat menyatakan tanpa ragu bahwa "Al-Quran" membenarkan
--bahkan mewajibkan-- usaha-usaha pengembangan ilmu dan teknologi, selama ia
membawa manfaat untuk manusia serta memberikan kemudahan bagi mereka.
Tuhan, sebagaimana
diungkapkan Al-Quran, "menginginkan kemudahan untuk kamu dan tidak
menginginkan kesukaran" (QS 2:85). Dan Tuhan "tidak ingin menjadikan
sedikit kesulitan pun untuk kamu" ( QS 5 :6). "Ini berarti bahwa
segala produk perkembangan ilmu diakui dan dibenarkan oleh Al-Quran selama
dampak negatif darinya dapat dihindari," ujar Quraish Shihab. Saat ini,
secara umum dapat dibuktikan bahwa ilmu tidak mampu menciptakan kebahagiaan
manusia. Ia hanya dapat menciptakan pribadi-pribadi manusia yang bersifat satu
dimensi, sehingga walaupun manusia itu mampu berbuat segala sesuatu, namun
sering bertindak tidak bijaksana, bagaikan seorang pemabuk yang memegang
sebilah pedang, atau seorang pencuri yang memperoleh secercah cahaya di tengah
gelapnya malam
Menjelang magrib di Universitas Persada Indonesia Y.A.I