"Hati-hati, Jebakan Riya Ini Menjerat Dosa Besar".
Secara tidak sadar, banyak
sekali jebakan sifat riya (pamer) dari amal ibadah yang kita lakukan. Bahayanya
dari jebakan riya ini, seorang hamba akan terseret pada dosa besar yang
balasannya sangat mengerikan. Bagaimana dan seperti apa jebakan riya tersebut?
Sejatinya, seseorang yang melawan jebakan riya ’ adalah mereka yang sedang
berperang melawan dorongan dari dalam diri sendiri. Satu energi besar yang
bercampur baur, sukar dipisahkan antara positif dan negatifnya. Jebakan riya’
sangat banyak, belum lagi perangkap kesombongan, gila popularitas (sum’ah),
cari perhatian (tamalluq), dan semisalnya. Akan tetapi, hal itu bukan alasan
untuk menghentikan atau malas beribadah. Ibadah harus tetap dijalankan perlahan
seraya membenahinya secara bertahap. Karenanya, setiap muslim perlu mengenal
dari mana saja potensi riya’ dapat muncul. Seperti diungkapkan Imam al-Ghazali,
beliau berkata,“Buta dari mengenal seluk-beluk benalu amal membuat kita
mustahil dapat menghindarinya.” (Abu Hamid al-Ghazali, Kitab al-Arba’in fi Ushul
ad-Din, halaman102).
Dalam Kitab al-Arba’in, Imam al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M) menjelaskan secara rinci 6 tempat yang sangat berpotensi menumbuhkan sifat riya ’. Imam al-Ghazali menjelaskannya sebagai berikut:
1. Raut muka dan bentuk badan
Seperti ‘menampakkan’ badan yang kerempeng dan lemah misalnya, agar orang-orang melihatnya tampak seperti seorang ahli ibadah, ahli riyadhah, puasa, dan semisalnya. Termasuk juga memperlihatkan raut muka sedih, supaya terlihat seperti orang yang punya pengamatan mendalam ihwal kehidupan dan kehinaan dunia. Semua itu bagian dari riya’ yang diwanti-wanti al-Ghazali.
2. Penampilan
Contoh kecil, seperti mencukur kumis agar terlihat lebih menawan
dan mempesona sehingga banyak orang terpukau, menundukkan kepala saat berjalan,
bergerak dan melangkah secar elegan supaya tampak lebih berwibawa, menampakkan
bekas sujud di dahi agar tidak diragukan kualitas sujudnya,
dan hal-hal serupa.
3. Gaya pakaian
Seperti mengenakan pakaian lengan panjang dengan lengan baju yang terlipat, tiada tujuan lain kecuali agar terlihat lebih keren, misalnya. Berbaju lusuh dengan beberapa tambalan juga termasuk salah satunya, bila tujuannya agar terlihat sebagai seorang sufi besar lagi bersahaja.
4. Ucapan
Hal ini
termasuk yang kerapkali menjebak para dai. Jadi, sebaiknya berhati-hati.
Karena, orang alim pun tidak terlepas dari penyakit riya’. Wajar saja bila
baginda Nabi Muhammad saw bersabda dalam hadist riwayat Mu’âdz bin Jabal, Min
fitnatil âlim, an yakunal kalam ahabba ilaihi min al-istima’, “Termasuk ujian
besar seorang alim, yaitu ketika ia lebih suka berbicara daripada mendengar”.
(Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ Ulumuddin, juz I, halaman 62).
5. Perbuatan Seperti memperlama rukuk dan sujud, misalnya, sedekah, puasa, haji, dan lain sebagainya. Semua itu sangat potensial untuk memunculkan riya’. Bahkan, gerak-gerik tubuh kita pun ketika melenceng dari niat luhur kerapkali terjerumus dalam penyakit hati ini.
6. Lingkungan sekitar
Riya’ juga bisa
tumbuh karena banyaknya murid, teman, dan guru yang bisa dipamerkan. Seperti
orang yang sering berkunjung kepada para gurunya, sehingga ia memiliki branding
diri yang baik di mata umat: misalnya dekat dengan orang alim, sering
bertabaruk, dan seterusnya. Mengutip tulisan Ustad Ahmad Dirgahayu Hidayat,
alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo,
Jawa Timur, dijelaskan membaca sekilas penjelasan al-Ghazali tentang 6 tempat
riya’, seolah untuk beramal shaleh orang menjadi sangat ribet.
"Beramal itu lillahi
ta’ala, murni karena Allah semata memang tidak mudah. Bukan karena Allah
mempersulit akses menuju ke sana, tetapi karena hati mnusia penuh oleh nuansa
syaithani, egoisme, dan mabuk dunia, sehingga ia sulit menemukan kemurnian
ibadah yang sebenarnya,"ungkapnya seperti dilansir NU Online. Namun
menurut Ustadz Ahmad Dirgahayu, sebagai hamba Allah, tentu orang tak boleh
berkecil hati. Orang harus terus berupaya sedikit demi sedikit membenahi hati
dengan cara apa pun. Seperti banyak membaca, mengaji kepada para ustadz, kiai,
atau tuan guru yang dapat meningkatkan kualitas spiritualnya. Kuncinya, adalah
tidak sampai berhenti karena terjangkit riya’ saat beramal pertama, kedua, atau
bahkan ketiga kalinya. Namun amal ibadah tetap harus terus dilanjutkan sampai
hati menjadi stabil dan tidak butuh dilihat lagi oleh manusia lainnya.
Semoga bermanfat, menjelang sore di Universitas Persada Indonesia Y.A.I