Zakat Bukan Suatu Kebaikan Hati Pihak yang Memberi, Begini Penjelasannya
Ulama mengganggap zakat
sebagai bukti, sistem ekonomi yang dimiliki Islam itu jelas batas-batasnya, dan
sama sekali bebas sepenuhnya dari semua sistem yang terdapat di dunia.
ah-kaidah utama sistem ini
terambil dari al-Qur'an sedangkan penjelasan-penjelasannya diberikan Rasulullah
SAW dan memang telah dilaksanakan di masa beliau masih hidup," tulis A.
Rahman Zainuddin dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam
Sejarah" bab "Zakat Implikasinya pada Pemerataan". Zakat
merupakan pendapatan utama negara Islam, di samping pajak-pajak lain seperti
pajak tanah, pajak kepala, rampasan perang, pajak hasil bumi dan lain-lain.
Zakat itu adalah bagian dari harta benda manusia yang dikeluarkan karena
perintah Allah SWT untuk kepentingan fakir miskin dan lain-lain.
Zakat itu adalah salah satu
rukun Islam, yang dalam delapan puluh dua ayat al-Qur'an disebutkan
bersama-sama dengan salat. Kewajiban zakat itu dibuktikan dengan adanya ayat
al-Qur'an mengenai hal itu, dengan adanya hadis Nabi SAW, dan dengan adanya
suatu kewajiban agama. Dipandang dari segi pengertiannya, zakat berarti kebersihan
dan pertumbuhan, sesuai dengan yang tersebut dalam al-Qur'an ( QS al-Taubah :
103). Zakat dimaksudkan untuk membersihkan harta benda orang lain yang dengan
sengaja atau tak sengaja telah termasuk ke dalam harta benda kita. Dalam
mengumpulkan harta benda, seringkali hak orang lain termasuk ke dalam harta
benda yang kita peroleh karena persaingan yang tak pantas, karena kelicikan dan
lain-lain sebagainya. Akibatnya banyak orang lain yang merasa sakit hati dengan
perolehan kita itu. Mereka tak dapat menuntut, karena tak cukup bukti, atau
karena tak memiliki keahlian untuk itu.
Mereka hanya diam dalam
penderitaan mereka. Untuk membersihkan harta benda daripada
kemungkinan-kemungkinan seperti itu, maka zakat dibayarkan. Zakat berarti juga
pertumbuhan, karena dengan memberikan hak fakir miskin dan lain-lain yang
terdapat dalam harta benda kita, maka terjadilah suatu sirkulasi uang dalam
masyarakat yang mengakibatkan bertambah berkembangnya fungsi uang itu dalam
masyarakat
Dibelakang pendapat tersebut
terdapat asumsi, seperti yang dikemukakan Ibnu Khaldun bahwa harta benda itu
selalu beredar di antara penguasa dan rakyat. Ia menganggap negara dan
pemerintahan itu sebagai suatu pasar yang besar, malah yang terbesar di dunia
(al-suq ala'zham), dan bahwa ia itu adalah inti budaya manusia (maddat
al-'umran). Jadi apabila negara atau pemerintah, atau penguasa menahan harta
benda dalam bentuk pajak yang telah dikumpulkannya dalam kalangannya saja, maka
jumlah uang yang beredar dalam masyarakat sudah pasti berkurang pula, dan pendapatan
rakyat akan menjadi berkurang pula, padahal rakyat itu merupakan kalangan
terbanyak umat manusia ini. Gejala ini menimbulkan kemacetan ekonomi di
kalangan masyarakat. Keuntungan yang diperoleh para pedagang juga akan menjadi
lebih sedikit pula. Pada akhirnya yang akan menderita kerugian adalah negara
itu sendiri.
Sebagai suatu pasar yang
terbesar maka kemakmuran negara itu adalah dengan melihat banyaknya harta benda
yang masuk dan keluar. Apabila terjadi kemandekan dalam sirkulasi ini, maka
semua pihak, termasuk pemerintah sendiri dirugikan. Jadi harta benda itu selalu
bolak-balik antara rakyat dan penguasa. Apabila penguasa menimbunnya, maka
rakyat tak akan memilikinya.
Sumarqandi menjadikan
pertumbuhan itu satu-satunya sebab disyari'atkannya zakat. Karena itu harta
yang wajib dizakatkan hanya dua macam, yaitu yang bertumbuh seperti binatang
ternak dan tanam-tanaman, serta harta perdagangan. Zakat diwajibkan pertama
kali di Makkah pada permulaan turunnya Islam, tapi ketika itu kewajiban
tersebut baru bersifat umum saja, dan belum mencakup perincian-perinciannya,
baik mengenai harta benda jenis apa yang diwajibkan, dan berapa besarnya zakat
yang harus dikeluarkan.
Pada mulanya hal itu
diserahkan pada perasaan dan kebaikan hati orang Islam saja. Namun baru pada
tahun kedua Hijriah, menurut pendapat yang terkuat di kalangan para ahli, zakat
diwajibkan dalam bentuk yang lebih terperinci. Bagi Garaudy, zakat itu bukanlah
suatu karitas, bukan suatu kebaikan hati pihak orang yang memberikannya, tapi
suatu bentuk keadilan internal yang terlembaga, suatu yang diwajibkan, sehingga
dengan rasa solidaritas yang bersumber dari keimanan itu orang dapat
menaklukkan egoisme dan kerakusan dirinya.
Dalam kesempatan yang lain
ia menyatakan bahwa al-Qur'an dan Sunnah mengatur pembagian kekayaan dengan
jalan melembagakan zakat, yaitu suatu pungutan yang bukan bersifat sukarela,
tapi pungutan wajib, yang bukan berdasarkan penghasilan, melainkan berdasarkan
kekayaan. Ia selanjutnya menyatakan bahwa dengan tarif umum dua setengah persen
setahun maka kekayaan itu akan habis dalam waktu satu generasi, yaitu dalam
jangka waktu empat puluh tahun, dengan demikian tak akan ada orang yang dapat
hidup sebagai parasit dari kekayaan yang diwarisinya dari orang tuanya. Ia
berpendapat bahwa dalam suatu masyarakat dimana hukum seperti ini dilaksanakan
dengan tuntas, maka tak akan ada orang yang terpaksa mencuri, selain dari orang
yang berpenyakit seperti kleptomaniak.
Semoga bermanfaat, menjelang siang di Universitas Persada Indonesia Y.A.I